Dika, pembawa cintaku. Malam ini semua
dosamu merasuki pikiranku. Seperti malam kemarin, dan malam malam setelah kau
menghianati kami. Dosa yang membuat kita seperti ini. Membuat aku serasa mati.
Membuatmu pergi. Membuatnya menangisi kita. Dika, masihkah kau simpan potret
kami? Yang dulu selalu kau nikmati senyumannya di dompetmu.
Dika- dimanapun kau,
aku masih selalu hidup dengan bayangmu disetiap nafasku. Setiap lagu yang
pernah menjadi bagian dari kisah kita tetap mengalun indah menemani tidurku.
Meski waktu tidurku sudah berganti kisah menjadi waktu mengenangmu.
Dika-
takdir tuhan untukku. Ingatkah saat kau akan pergi pagi pagi buta dan mencium
pipiku dengan manisnya. Aku tau saat itu mentari malu malu sedang mengintip
kita, saat terajhir kalinya kau memandangku dengan cinta dimatamu.
Dika- penentu hidup dan matiku- merasakah kau,
semenjak kau memutuskan untuk pergi, kami bahkan seperti pasien berpenyakit
asma yang dirampas tabung oksigennya. Taukah kamu, hidup tanpa sapaan pagimu
bagaikan hidup tanpa matahari. Bahkan
untuk menikmati hangat sinarnyapun kami butuh bermimpi. Sedangkan setiap detik
aku memejamkan mata dosa dosa itu menghantuiku.
Dika- , jika saja malam itu kau
tidak mencumbu dara lain, jika saja kau tidak memutuskan untuk menikmatinya dan
membuang kami, jika saja dara jalang itu tidak pernah dilahirkan oleh ibunya.
Dika- ayah dari anakku. Taukah kau semenjak kau menghilang dari hidup kami,
Mentari selalu menanyakan kemanakah kau beranjak. Ia dengan senyum manisnya
menunggumu di ambang pintu, membawakan boneka yang selalu diinginkannya. Dan
taukah kau apa yang aku katakan pada putrimu. Ayahmu sedang menikmati tubuh
dara jalang yang merampas senyum kita.
Dika- suamiku, kenapa kau lebih memilih
bercinta dengan dara jalang itu dan melupakan kami?
Carla
No comments:
Post a Comment